DUMAI
- Sebagian warga Bali khawatir dan takut ancaman bencana kala reklamasi Teluk
Benoa terjadi. Mereka punya banyak cara mengekspresikan penolakan, ada yang
membuat aneka artwork, aksi musik,
kampanye di media sosial, dan longmarch sampai
jalan spiritual.
Pada
akhir Oktober, tepat pukul 10.00 pagi, sejumlah orang berpakaian adat Hindu
melantunkan doa-doa dan sesajen ke arah Teluk Benoa, dari Pura Karangasem,
Tuban, Badung. Ini pemujaan kali kedua. Sebelumnya, September, 11 sulinggih
(pimpinan agama Hindu) berkumpul di bibir pantai, menghaturkan sesajen, dupa,
dan doa diiringi suara genta pada Dewa Baruna, penguasa laut di lokasi rencana
reklamasi.
November
ini akan dilaksanakan hal sama, di lokasi berbeda, namun tetap di arah mata
angin yang mengelilingi Teluk Benoa. Ada kisah yang melatarbelakangi perlawanan
melalui jalan spiritualitas ini.
Pada
April, seorang Jero Mangku Istri Rai (pemimpin ritual perempuan) bermimpi. Dia
melihat seorang laki-laki menarik sebuah batu besar. Dengan perlahan batu
dibawa sampai ke sebuah sumur. Batu digelindingkan hingga menutup mulut sumur.
Saluran air tersumbat. Jero terbangun dan tergagap. Dia tak bisa tidur lagi
karena merasa mimpi itu nyata. Dia sekaligus takut.
“Ada
apakah dengan bumi Bali?” Dia bertanya pada rekan sesama pemangku. Kebanyakan
kasus seperti ini pada orang yang meyakini mimpi di Bali, diminta tangkil
(bersembahyang) ke Pura Puncak Sari di Danau Buyan, utara Bali. Ini salah satu
sumber air, hulu pulau Bali. Salah satu rekan berbagi cerita adalah Doktor Luh
Kartini, guru besar perempuan Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan salah
satu ahli tanah terkenal.
“Harus
dilaksanakan berbagai ritual ngancing (mengunci) Pulau Bali tak hilang 50%,
diyakini ini terkait rencana reklamasi Teluk Benoa,” katanya. Dia mengaku
menghormati tanda-tanda niskala (tak terlihat) seperti ini walau terbiasa
bekerja sebagai akademisi yang harus ilmiah. “Secara logika imiah, ini mungkin
tak masuk akal.”
Salah
satu pesan perjalanan spiritual mengunci pulau ini adalah menemukan batu
berbentuk segitiga. Dimulailah rangkaian ritual demi ritual sejak April. Suatu
ketika, mereka mengaku menemukan batu di pesisir Tanjung Benoa. Sebuah keris
yang dimiliki Kartini dipakai buat mengunci.
“Kami
mohon pemerintah diberikan vibrasi agar membatalkan reklamasi ini. Teluk Benoa
adalah baruna kertih (kesejahteraan laut) yang sangat disucikan,” kata Anom
Suparta, Jero Mangku di Pura Karangasem. Di sekitar Teluk Benoa ada beberapa
kawasan Melasti (area ritual penyucian semesta) yang kesucian harus dijaga.
“Abrasi
di Padanggalak akibat reklamasi Serangan. Sawah di Padanggalak habis karena
abrasi. Saya khwatir di sini seperti apa kalau ada reklamasi.”
Kartini
heran kenapa pemerintah bersikukuh ingin memberikan izin reklamasi. “Dampaknya
kita di sini, bukan mereka yang merasakan. Ada kekuatan niskala nanti yang akan
menghukum kita,” ucap perempuan pengampanye pertanian organik ini.
Ida
Pandita Griya Telabah, salah pimpinan agama yang dihormati juga ikut mengamati
vibrasi dari Teluk Benoa. Dia dua kali hilir mudik di Pura Karangasem buat
merasakan aura spiritualitas di pusat hutan bakau ini.
Pandita
ini bercerita pernah punya pengalaman unik saat memimpin upacara. Ada
persembahan seekor ikan dengan badan sisa setengah tetapi hidup. Selalu muncul
saat upacara besar di sini dan ditangkap nelayan untuk persembahan. Namun,
lepas dan hidup lagi.
Penekun
spiritual ini yakin tanda-tanda alam juga berwujud dalam bentuk bisikan-bisikan
gaib. Mereka menggunakan dalam menegakkan konservasi. Ritus ini hampir rampung
di sembilan penjuru mata angin di sekitar teluk.
Aksi jalanan mengarak ogoh-ogoh
Pada
pekan ini, untuk kesekian kali, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI)
Teluk Benoa ke jalanan. Aksi berpusat di kantor Gubernur Bali untuk menekan
pemimpin daerah tak memberikan izin-izin lokal berikutnya bagi investor.
Sekitar
500 orang, sebagian besar anak muda berusia di bawah 30 tahun meneriakkan
yel-yel “Dua tahun dibohongi, tolak reklamasi Teluk Benoa.” Mereka merasa regulasi memuluskan jalan
reklamasi secara diam-diam.
Kelompok
pemuda banjar atau Sekaa Teruna membuat ogoh-ogoh (boneka raksasa berbentuk
tikus membawa ekskavator). Simbol budaya berpadu dengan isu kontekstual Bali
kini.
Agung
John, anak muda yang terlibat dalam aksi budaya menyuarakan ini mengatakan,
ogoh-ogoh salah satu medium sangat popular dan disukai. Perwujudan tikus
sebagai simbol investor rakus, dengan kendali alat keruk atau ekskavator.
Namun, kekuatan alam, berupa tangan ombak berhasil mengangkat tikus ini ke
udara untuk mencegah pengurugan di tengah laut.
Para mudi-mudi ambil bagian dalam upaya penyelamatan Teluk Benoa dari reklamasi (www.mongabay.co.id) |
Suriadi
Darmoko, Direktur walhi Bali, mengatakan, aksi ini pesan untuk Presiden Joko
Widodo dan kementrian. Dia meminta Jokowi, dan kabinet kerja harus melihat
betul aspirasi rakyat Bali yang sebagian besar menolak reklamasi.
“Penolakan-penolakan ini sudah massif dan terbuka di ruang-ruang publik.”
Reklamasi
harus dievaluasi karena kebijakan ini bertentangan dengan komitmen konservasi
kelautan. Antara lain, pertama, perubahan status Teluk Benoa dari kawasan
konservasi menjadi kawasan dapat direklamasi. Ini bertentangan dengan komitmen
coral triangle iniciative yang dicetuskan SBY dalam terumbu karang.
Kedua,
perubahan kawasan konservasi ini bertentangan dengan komitmen mewujudkan 20
hektar kawasan konservasi perairan tahun 2020. Darmoko menyebutkan, baru
tercapai 16 juta hektar tetapi rezim SBY justru mengubah status Teluk Benoa
dari kawasan konservasi menjadi non konservasi.
“Komitmen
Jokowi bekerja keras mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim dan
menjadikan teluk sebagai masa depan peradaban Indonesia.” Untuk itu, ForBALI
meminta pemerintahan baru menghentikan proses perizinan berkaitan rencana
reklamasi. Caranya, mencabut Perpres 51
tahun 2014 dengan memberlakukan kembali Perpres 45 tahun 2011. Dikutip
dari Mongabay.co.id, Selasa (11/11).
Post Comment
Post a Comment