DUMAI - Danapunia dalam masyarakat luas acapkali dimaknai sebagai
tindakan orang memberikan (sumbangan) dalam bentuk sesuatu dengan tulus ikhlas.
Pemberian sesuatu itu secara sempit pada umumnya berbentuk materi (uang dan
barang). Misalnya; seorang pengusaha atau donatur memberikan danapunya kepada
kelompok masyarakat, banjar, desa atau pura tertentu.
Karena memberikan sesuatu (uang atau barang), si pemberi
kemudian ada yang menyebut sebagai sang dermawan. Istilah dermawan setidaknya
merujuk pada subyek pelaku pemberi bantuan, entah berupa barang dan uang.
Artinya pula sang dermawan adalah orang-orang yang memiliki pendapatan atau
kekayaan lebih, kemudian memberikan sedikit kekayaannya atau pendapatannya
kepada pihak-pihak yang membutuhkan untuk tujuan kemuliaan.
Dalam Agama Hindu, sumber yang mengacu kewajiban melakukan
derma terdapat dalam Atharvaveda, III.24.5 yang berbunyi: “Wahai umat manusia,
kumpulkanlah kekayaan dengan seratus tangan dan setelah engkau memperolehnya
dermakanlah dengan seribu tanganmu” (Perdana, 2009:137).
Kekayaan merupakan berkah Tuhan (Hyang Widhi) dapat
digunakan untuk berbagai tujuan yang berlandaskan dharma, terutama untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan harus digunakan untuk memuliakan Tuhan. Dengan
jalan melakukan danapunya dan yadnya termasuk untuk memajukan dan
mensejahterakan masyarakat serta menjaga keseimbangan, keharmonisan,
kelestarian alam maupun jagat raya.
Ditegaskan pula dalam kitab Hindu yang lain, berbunyi: “Tangan
menjadi indah karena sedekah, bukan karena perhiasan” (Canakya Nitisastra
XVII.12)
Tangan adalah alat penting sebagai sarana penyaluran
danapunya. Oleh sebab itu keindahan dan kebaikan tangan adalah ketika kita
mampu memanfaatkannya di jalan dharma dengan berderma. Keindahan yang
dimaksudkan bukanlah sebuah bentuk fisik tangan melainkan sebuah penggambaran
perbuatan yang dilakukan salah satu anggota badan yang berfungsi memuliakan
anggota badan yang lain. Artinya melalui tangan, orang akan dapat termuliakan.
Sedangkan pengaturan melakukan derma, Sarasamuccaya 261 -
262 menjelaskan “Dan caranya mencari berusaha memperoleh sesuatu, hendaklah
berdasarkan dharma, dana yang diperoleh karena usaha, hendaklah di bagi tiga,
guna melaksanakan (biaya) mencapai yang tiga itu; perhatikanlah itu baik-baik”
(Kadjeng, 1997:198).
“Demikianlah hakekatnya maka di bagi tiga (hasil usaha itu),
yang satu bagian guna mencapai dharma, bagian yang ke dua adalah biaya untuk
memenuhi kama, bagian yang ketiga diuntukkan bagi melakukan kegiatan usaha
dalam bidang artha, ekonomi, agar berkembang kembali demikian hakekatnya, maka
di bagi tiga, oleh orang yang ingin beroleh kebahagiaan” (Kadjeng, 1997:199).
Dalam arena politik, berderma salah satu jalan yang ditempuh
oleh para kandidat calon pemimpin daerah, legislatif sampai dengan presiden.
Pada momen itu, beberapa pura acap menjadi ramai. Berderma dengan danapunya di
Pura merupakan salah satu potret rutin dalam masa masa pemilu, selain berderma
di desa dan kelompok kecil lainnya. Pilihan berdanapunya di pura erat
hubungannya dengan anggapan bahwa memberi selalu dianggap sakral, yang suci,
luhur selalu berada di atas, sehingga memberi demi kesucian itu senantiasa
bermakna vertikal. Sebab, ketika mereka mendapat sesuatu ditentukan sepenuhnya
oleh yang di atas.
Pemberian terbaik, terpenting, termegah, adalah untuk Yang Maha
Tinggi. Yang tinggi itu tak selalu berarti Hyang Widhi atau dewa, juga pitara,
leluhur, nenek moyang. Mereka maya, niskala, tetapi ada. Ketika banyak
mendapat, banyak pula harus diikhlaskan demi niskala
Meskipun doktrin
agama Hindu membenarkan pemberian danapunya akan mendatangkan pahala namun
tergantung pada apa yang diberikan, darimana pemberian itu didapat, bagaimana
sikap saat memberikan dan kapan pemberian itu dilakukan (Widana, 2008:61-62).
Jika kesemuanya sudah tepat dan benar maka akan berpahala pemberian atau
danapunya itu dan patutlah orang yang melakukan itu disebut dermawan.
Jika sebaliknya, maka jangan kecewa kalau ternyata pemberian
itu tidak akan mendapatkan pahala alias percuma dan si penderma tidak
dikategorikan sebagai seorang dermawan. Terlebih menjadi dermawan hanya dalam
momen Politik, maka bukan dermawan. Dermawan tidak butuh imbalan, juga tidak
butuh dukungan suara. Berdasarkan hal itu, kegiatan danapunya yang dilakukan di
Pura Pura atau desa dan kelompok-kelompok kecil lainnya adalah sebagai upaya
mengontruksi citra sebagai seorang figur pemimpin yang merakyat.
Bahkan tindakan danapunya dalam arena politik itu adalah
bentuk terhalus politik uang yang mendompleng agama (Hindu). Tidak menjadi
salah terdapat asumsi yang mengemukakan pada era ini bukan lagi identik dengan
kekuasaan rakyat untuk memilih pemimpin. Demokrasi diterjemahkan sebagai alat politik yang dapat dibeli dengan uang untuk
menapaki puncak kekuasaan. Demokrasi seolah menjadi pasar transaksi bisnis.
Pendekatan secara transaksional dan pola berpikir instan menyebabkan masyarakat
makin pragmatis.
Jika pola pikir transaksional makin menguat, aspirasi
masyarakat dengan gampang dibelokkan hanya lantaran calon datang dengan membawa
segepok uang. Dengan demikian hanya kaum pemodal yang memiliki akses ke politik
dan bisa menempati kedudukan anggota legislatif atau pemimpin daerah. Meskipun
ivestasi atau kepedulian semacam itu patut diacungi jempol. Namun, patut
disayangkan danapunya umumnya mengalir deras hanya saat menjelang digelarnya
ajang suksesi pemimpin politik. Kalangan figur semacam ini tiba-tiba
menampilkan diri sebagai sosok dermawan. *Sumber
Post Comment
Post a Comment