DUMAI –
Kisah Lubdhaka yang diceritakan sebagai seorang pemburu yang kemudian berhasil
masuk surga rupanya telah mengobsesi sebagian kalangan umat untuk bergiat
mengikuti acara malam Siwaratri dengan harapan bisa mengikuti jejak Lubdhaka.
Lubdhaka
yang meskipun banyak melakukan perbuatan dosa, lantaran ia adalah seorang
pembunuh (binatang), namun akhirnya berhasil mencapai surga, sebuah tempat yang
selalu menjadi impian umat untuk dicapai setelah kematian menjemput.
Pemahaman
yang demikian sempit dan dangkal inilah yang tampaknya membuat kesalahpahaman
terhadap arti dan makna hari suci Siwaratri yang tahun ini akan dilaksanakan pada
hari ini 19 Januari 2015.
Kebanyakan
umat Hindu (awam), akhirnya berkembang menjadi pendapat umum, bahwa Siwaratri
dianggap sebagai malam penebusan dosa. Padahal secara harfiah, arti kata
Siwaratri, lengkapnya Siwaratri Kalpa
adalah sebagai malam penghormatan Siwa yang sepatutnya dimaknai sebagai malam
kesadaran (tan mrema, tan aturu) bukan sekadar begadang semalam suntuk
lalu berharap segala dosa ditebus, kemudian setelah ajal menjemput surga
menyambut.
Alur
cerita Siwaratri yang menampilkan gambaran hidup Lubdaka yang adalah seorang
pemburu lalu masuk surga, mengesankan betapa dosa itu bisa dengan mudah ditebus
oleh seseorang yang keseharian hidupnya terbiasa merlakukan Himsa Karma,
membunuh binatang yang hakikatnya makhluk hidup juga.
Jika
disimak lebih dalam makna satwa (kebenaran) dibalik satu (penceritaan)
Siwaratri, didapat pemahaman, sesungguhnya semua kisah lengkap tentang
perjalanan hidup Lubdaka, adalah gambaran tentang kehidupan kita, yang
diingatkan untuk selalu berikhtiar mencari dan akhirnya menemukan Sang Jati
Diri (atutur ikang atma ri jatinya) sebagai jalan mencapai Sang Mulajadi, Tuhan itu sendiri.
Jati
diri sebagai homo religious yang
senantiasa dituntun sekaligus dituntut untuk selalu berusaha meningkatkan
kualitas diri, lahir bathin: material spiritual. Karena itu kisah perjalanan
Lubdaka sebenarnya merupakan episode kehidupan manusia yang pada akhirnya harus
kembali kepada-Nya dengan cara pelan tapi pasti agar meninggalkan kehidupan
duniawi yang diikat raga (indria) dan selalu berbuah papa (hina, sengsara).
Itulah
sebabnya Lubdaka digambarkan pergi meninggalkan rumah, anak dan istri menuju ke
hutan jauh dari keramaian dunia yang akrab dengan keinginan duniawi. Harapannya
agar ia menemukan marga satwa (jalan
kebenaran) dalam usahanya membunuh (sifat-sifat) kehewaniannya.
Oleh
karena kapetengan (kemalaman),
sebagai gambaran bahwa ia masih diliputi kegelapan (kebodohan/ketidaksadaran),
maka Lubdaka menaiki sebuah pohon Bilwa (Bila), sebagai pertanda bahwa ia
hendak meningkatkan kualitas dirinya, terutama rohani/spiritualnya. Agar tetap
dalam keadaan terjaga (jagra), ia memetik-metik daun Bilwa, sebagai isyarat ia
dengan tekun dan disiplin serta penuh konsentrasi mencurahkan rasa bhaktinya
agar tetap dalam keadaan eling ring raga
(berkesadaran).
Setiap
bagian perbuatan Lubdhaka itu sebenarnya merupakan fragmentasi betapa pentingnya
''pengisian diri'' dengan berbagai jnana (pengetahuan/widya)
agar menjadi wijnana (bijaksana) yang
disimbolisasikan dengan memetik daun (lambang media aksara/ilmu). Selanjutnya
menjadi bekal moral meningkatkan kesadaran spiritual, sehingga memudahkan
pencapaian obsesi ''persatuan'' dengan Siwa, sebagaimana dilukiskan Lubdhaka
bersamaan/bersatu dalam Yoganya Siwa yang membuatnya patut mendapat anugerah
Siwaloka (surga).
Surga
yang akhirnya berhasil dicapai Lubdaka sejatinya pembuktian bahwa siapapun umat
manusia meski dalam keseharian hidupnya penuh dengan gelimangan dosa. Jika
timbul kesadaran untuk merubah dan kemudian memperbaiki diri agar menjadi lebih
berkualitas, jasmani-rohani atau material-spiritual, maka pahala surga siap
menanti untuk dinikmati.
Namun
patut disadari, persoalan pencapaian
obsesi surga tidaklah semudah sebagaimana digambarkan lewat ''kisah satu
malam'' Lubdhaka yang kemudian mengantarkannya meraih tiket surga. Bagaimanapun juga, semua bentuk pencapaian,
pasti dibarengi dengan perjuangan sekaligus pembelajaran, syukur-syukur
mendapat pencerahan guna mencapai kesadaran sampai akhirnya mencapai titik
puncak kebahagiaan atau keabadian di alam-Nya.
Dalam
konteks apa yang dilakukan atau ditiru oleh umat Hindu kebanyakan, lebih-lebih
dari kalangan kawula mudanya dengan menafsirkan malam Siwaratri sebagai malam
penebusan dosa, sesungguhnya merupakan sebuah kesalahkaprahan sekaligus bentuk
penyimpangan terhadap arti dan makna hari suci Siwaratri. Apalagi kemudian
dengan alasan majagra atau begadang
semalam suntuk membuat kegiatan/acara yang keluar dari konteks ritual Siwaratri
itu. Misalnya bepergian, terkadang berpasang-pasangan ke tempat-tempat sepi di
malam hari seperti ke pantai atau lokasi lain yang dipandang aman dari
pengawasan. Entah apa yang kemudian dilakukan anak-anak generasi muda Hindu
tersebut, yang pasti maksud hati hendak bermalam Siwaratri dengan harapan
menebus dosa kenyataannya malah semakin menambah dosa.
Tujuan
utama Siwaratri untuk melebur atau melenyapkan (mapralina) kegelapan hati agar
mencapai pencerahan dan kesadaran akhirnya berujung pada semakin jatuhnya
kualitas diri manusia dari berstatus Manawa
(manusia) yang seharurnya meningkat ke level Madawa (Dewa) justru menjelmakan karakter Danawa (raksasa), yang tentu saja semakin menjerumuskan manusia ke
lembah dosa sekaligus menjauh dari surga.
Penulis adalah I Gusti Ketut Widana, Dosen Universitas Hindu (Unhi) Denpasar, seperti dikutip balipost.co.id, Senin (19/1).
Post Comment
Post a Comment