Masyarakat Bali (bali.panduanwisata.com) |
Sikap orang Bali sering digambarkan aneh alias tidak
lazim, yaitu bersikap keras bahkan kejam kepada saudaranya atau sesama orang
Bali, namun di sisi lain bersikap ramah bahkan terkesan mengalah dengan orang
lain (bukan Bali), atau sering disamakan prilakunya dengan prilaku ayam Bali,
yaitu ketika ayam-ayam Bali diberikan makanan, seketika diantara ayam-ayam
tersebut saling terjang dan saling patok, dimana ayam yang terkuat akan
menguasai semua makanan tersebut, ayam yang lain minggir tidak kebagian, sangat
berbeda dengan ayam lain (bukan ayam Bali), ketika mereka diberi makan, mereka
tidak saling serang, namun masing-masing segera sibuk makan sebanyak-banyaknya.
Prilaku politik seperti ini patut kita renungkan dan cermati bersama, ada apa
dengan prilaku politik orang Bali?
Ada beberapa
contoh kasus yang terjadi pada masyarakat Bali yang menggambarkan praktek
kekerasan (himsa) dalam kehidupan masyarakat Bali seperti yang dimaksudkan
pernyataan di atas.
Pertama, ada anggota masyarakat di sebuah desa di
Bali tidak atau belum dapat menunaikan kewajiban melunasi hutang ke LPD
setempat, kepadanya diberikan hukuman larangan untuk bersembahyang di pura
kahyangan tiga setempat.
Kedua, ada warga banjar tertentu karena sebagian
besar waktu hidupnya sampai dia meninggal berada di perantauan sehingga tidak
pernah ngayah di banjar, atau pada suatu waktu dia pernah bermasalah dengan
krama lainnya, karena permasalahan tidak diatasi dengan baik, maka dilakukan
tindakan balasan atau penghukuman dengan mensabotase upacara yadya (ngaben)
yang bersangkutan sehingga upacara menjadi kacau dan gagal.
emudian kita lihat kasus yang lebih kasat mata
politis, ada media massa dimana kebetulan pemiliknya terlibat konflik dengan
orang yang menjadi pejabat penting, yang terjadi adalah media massa tersebut
tidak memberitakan segala kegiatan atau program kerja pejabat tersebut.
Selanjutnya, jika ada krama Bali yang vokal
mengkritisi kinerja pejabat yang berkuasa di suatu daerah maka oleh pejabat ini
krama yang vokal tadi dianggap ‘musuh’ sehingga tidak mau diajak berkomunikasi
apalagi dibantu atau diayomi. Sebenarnya banyak lagi contoh prilaku politik
yang terjadi dimana di dalamnya ada unsur kekerasan baik verbal maupun non
verbal, baik mental maupun phisik serta sosial.
Jadi, benang merah dari contoh-contoh peristiwa di
atas adalah adanya prilaku kekerasan (himsa) dalam kehidupan politik masyarakat
Bali dan antar sesama orang Bali sehingga tidak keliru adanya gambaran prilaku
politik orang Bali mirip dengan prilaku makan ayam Bali.
Susila VS Dursila
Kelirukah prilaku politik orang Bali yang demikian?
Supaya jernih menilai persoalan ini, maka kita mengambil acuan atau bertolak
pada ajaran agama Hindu, yang mana tentunya mengajak kita semua kepada kebaikan
dan kebahagiaan. Sesuai dengan hukum karma, prilaku yang baik akan mendapatkan
ganjaran kebaikan, demikian sebaliknya, prilaku buruk menghasilkan keburukan
atau penderitaan.
bolarumputhijau.wordpress.com |
Mana prilaku yang baik (susila) dan mana prilaku
yang buruk (dursila), semua orang yang cukup umur dapat membedakan atau
memilahnya, karena orang yang telah cukup dewasa, akal, hati dan budinya telah
berfungsi dengan baik.
Kekerasan (himsa) dalam ajaran Hindu sudah
dikategorikan dalam prilaku dursila, sedang lawan dari kekerasan (aniaya atau
zalim) adalah kasih sayang yang tergolong prilaku susila. Namun harus hati-hati
dalam hal ini, bagaimanapun harus mengasah kebijaksanaan, jika tidak kita akan
mudah tersesat dalam pemahaman atau pandangan yang relatif dan pragmatis.
Coba perhatikan hal ini, tindakan membunuh, kita
tahu ini tergolong perbuatan yang keras, jika kita seorang prajurit dalam
peperangan membela tanah air, maka membunuh musuh adalah tindakan yang
dibenarkan dan tepat, namun jika ada perampok membunuh korbannya ini tergolong
prilaku kejam,sadis dan berdosa, jadi perbuatan yang sama, namun dengan niat
yang berbeda, yaitu ada niat mulia dan ada niat jahat, terjadilah perbedaan
yang prinsip sekali, ada prilaku susila dan ada prilaku dursila. Niat yang baik
sudah pasti dilandasi rasa kasih sayang (sikap positif), sedangkan niat yang
buruk sudah pasti pula didasari rasa benci, dendam, loba, nafsu jahat dan
sebagainya yang berkekuatan negatif. Bagaimana mengetahui dan menyadari suatu
niat yang mendasari suatu perbuatan, hal inilah dimaksud dengan kebijaksanaan.
Prilaku Politik
Menyimpang
Dengan mencintai kebijaksanaan, kita dapat mengukur
sejauh mana prilaku politik orang Bali menyimpang. Jika niat sebagian krama
Bali atas sebagian yang lain berlandaskan niat yang baik, dan berlandaskan rasa
kasih sayang, maka tindakan atau respon terhadap krama yang menjadi obyek
tindakan meski secara kasat mata nampak merupakan prilaku kekerasan namun
sesungguhnya merupakan prilaku yang susila/ahimsa.
Demikian juga, jika respon krama didasari niat yang
buruk atau berlatar dendam dan tamak maka memang benar tindakan tersebut
tergolong prilaku kekerasam (himsa). Disadari atau tidak, niat menjadi tolok
ukur apakah prilaku kita tersebut tergolong kekerasan atau bukan. Jadi, dalam menilai
tepat atau kelirunya prilaku politik orang Bali khususnya dalam contoh
kasus-kasus di atas harus berdasarkan pengamatan, tanggapan dan penilaian yang
menggunakan logika dan kebijaksanaan yang memadai.
Mengapa prilaku dalam contoh di atas masuk dalam prilaku
kekerasan? Pertama, untuk kasus pertama, kedua dan ketiga, pada kasus ini ada
upaya menghambat orang lain untuk beribadah sebagaimana biasanya, padahal
aturan moral menyatakan bahwa sesama manusia harus saling memudahkan ketika
menjalankan ibadah, apalagi dalam satu keimanan/agama, kemudian dalami lagi
niat atau motif dibalik prilaku tersebut, diyakini ada unsur negatif di
dalamnya seperti kemarahan, kebencian dan dendam serta arogansi.
www.nyananews.com |
Sepatutnya, persoalan hutang piutang diselesaikan
dengan peraturan LPD itu sendiri atau pengadilan perdata, masalah tidak
melakukan kewajiban banjar diselesaikan sesuai awig-awig setempat, kemudian
persoalan upacara hindarilah pendekatan adat semata gunakan juga pendekatan
agama.
Pada kasus keempat dan kelima, ada sikap untuk
melestarikan konflik yang mana ini bertentangan dengan ajaran moral yaitu
menjaga tali silahturami, dalami lagi niatnya maka kita yakini ada unsur
kemarahan, kebencian hingga dendam dibalik semua itu. Persoalan antar pribadi
mohon jangan dibawa ke area publik karena sulit dikendalikan dampaknya dan
sikap sok kuasa serta aji mumpung jangan dibiarkan melekat pada diri seorang
pemimpin, karena pemimpin yang demikian mudah tergoda menyalahgunakan
kewenangan.
Memang benar emosi baik positif maupun negatif
adalah manusiawi, jika orang dipuji dan diberi hadiah, maka dia senang dan
sayang pada yang memuji dan memberi hadiah, sebaliknya, jika dia dicaci dan
dilukai hatinya, maka dia marah, benci serta dendam pada yang melakukan.
Agar emosi manusia tersalur dengan normal, maka
diajarkanlah moral utama pergaulan Tat Twam Asi, yang maknanya adalah jangan
berbuat kepada orang lain apa yang kamu sendiri tidak suka menerimanya. Jangan
melalaikan bayar hutang, jika kamu sendiri tidak suka dihutangi, jangan menganggu
ketenangan orang jika diri sendiri tidak suka diusik, jangan merendahkan
martabat orang jika kamu sendiri tidak suka dilecehkan dan seterusnya.
Selanjutnya,
jalinan komunikasi dan silahturami antar sesama harus dijaga, jika ada salah
satu berbuat salah maka secepatnya menyadari kesalahannya, segera meminta maaf
serta menebus kesalahan dengan penyesalan dan gantirugi yang sepadan.
Sebagai bingkai dari semua ini, hukum harus
ditegakkan, siapa yang bersalah harus menerima hukuman, siapa yang benar harus
mendapat keadilan, prinsip menegakkan hukum adalah kasih sayang bukan kebencian
dan balas dendam, meski hukuman mati diputuskan inipun tetap berdasarkan rasa
kasih sayang. Prilaku kekerasan memang perbuatan dosa, namun lebih berdosa lagi
jika tidak berupaya menegakkan hukum dan keadilan.
ruangkudisini.blogspot.com |
nitya Prilaku politik orang Bali yang mengedepankan
kekerasan harus dikritisi agar orang Bali segera introspeksi diri, dan agar
tidak terjebak dalam lingkaran kekerasan yang tidak berkesudahan. Sesama orang
Bali, apalagi dengan keyakinan yang sama, sama-sama meyakini ajaran Tat Twam
Asi dan hukum karma, sepatutnya lebih mengutamakan prilaku yang humanis,
prilaku yang saling menghargai sesama, lebih kepada praktek balas budi kebaikan
dan jangan condong kepada praktek balas dendam.
Saling balas budi diyakini akan memperkuat jalinan
silahturami dan kerukunan sesama orang Bali, contohnya seperti ini, sebagai
pemimpin yang memegang amanah, jika ada yang vokal mengkritisi kinerjanya,
cermati dengan bijak, jika didasari niat yang tulus dan memang benar
adanya, hormati kritikan tersebut dan
rangkulah serta bantulah orang tersebut. Namun jika niat tersebut jahat atau
fitnahan semata, bersabarlah dan berjiwa besar, serta coba atasi dengan komunikasi
dan persuasi, jika tidak bisa segera gunakanlah penegakkan hukum, jangan
biarkan persoalan konflik semakin rumit dan berlarut-larut.
Semua pihak di Bali mesti introspeksi diri, memang
benar selama ini orang Bali hanya berani dan keras kepada sesama orang Bali,
belum lagi kuatnya praktek balas dendam, di sisi lain orang Bali terkesan takut
pada orang bukan Bali karena orang Bali sadar dia minoritas, yang mudah
dianiaya dan dimarjinalkan, dengan demikian orang Bali lebih bersikap ramah dan
manis kepada orang bukan Bali.
Mari bersama kita berupaya agar prilaku ini tidak
dominan lagi, kita berusaha agar orang bali berprilaku wajar, yaitu bersikap
ramah dan manis kepada siapa saja yang berprilaku susila dan berprilaku keras
dan tegas terhadap siapa saja yang dursila.
Post Comment
+ komentar + 2 komentar
artikelnya becik dan penuh dengan hal-hal nyata yang terjadi di bali, kehidupan sosial, ekonomi,politik, pariwisata, budaya, adat istiadat, maupun hukum awig-awig.
semoga masyarakat Bali, menyadari Bali akan tetap Bali, bila orang Bali berada di tanah Bali ... alias bukan ngontrak , suksma
Suksma bli,,,
Semoga Bali akan selalu tetap ajeg :)
Post a Comment