Headlines News :
Home » , , , , » Sekilas Sejarah Pura Parahyangan Agung Jagat Kartta Taman Sari Gunung Salak

Sekilas Sejarah Pura Parahyangan Agung Jagat Kartta Taman Sari Gunung Salak

Written By Unknown on Monday, June 23, 2014 | 10:48 AM

Madya Mandala di Pura Gunung Salak
DUMAI-  Ditinjau dari segi tata bangun ruang Pura Gunung Salak dibangun berdasarkan konsep Tri Mandala yang mana Pura Gunung Salak dirancang sebagai tempat ibadah di ruang terbuka yang terdiri dari beberapa lingkungan yang dikelilingi tembok. Masing-masing lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang, meru yaitu menara dengan atap bersusun, serta bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat suci pura Gunung Salak mengikuti konsep Trimandala, yang memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:
1.      Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk pura dari lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau taman yang dapat digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan dalam melakukan berbagai upacara keagamaan.
2.      Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan), Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
3.      Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.

Sejarah Pembangunan
Berawal dari munculnya perasaan tenang dan hening ketika berada di tengah alam bebas Gunung Salak, muncul keinginan kelompok umat Hindu untuk membangun sebuah pelinggih sederhana, sebagai focus konsentrasi pikiran. Keinginan tersebut mendapat sambutan dari berbagai pihak, sehingga kemudian berkembang kearah pembangunan sebuah Pura besar.

Utama Mandala di Pura Gunung Salak
Pada Tahun 1995, dimulai dengan membangun sebuah candi disatu titik yang diyakini sebagai petilasan Prabu Siliwangi, Raja Termasyur dan sangat dipuja. Pembangunan candi tersebut adalah sebagai simbul penghormatan kepada leluhur tanah sunda. Pemerintahan beliau dengan sesanti : “Tata Tentram Kerja Raharja”, telah membawa jaman keemasan bagi Padjadjaran, kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan. Kehidupan masyarakat dijalankan berdasarkan kepada penghormatan ajaran leluhur “Sanghyang Dharma dan Sanghyang Siksa”. Masa jaya ini berlangsung selama masa pemerintahan beliau tahun 1482 -1521, dan dilanjutkan putranya Raja Surawisesa, tahun 1521-1535. Semua ini tertera pada prasasti batu bertulis di jalan batu tulis Bogor, yang dibuat Tahun Saka 1455 atau 1533 SM.

Selama proses pembangunan, untuk sementara pura disebut dengan “Penataran Agung Gunung Salak”. Hingga tahun 2005, atas partisifasi umat baik perorangan maupun institusi/lembaga, panitia berhasil menyelesaikan seluruh pelinggih di utamaning utama dan utama mandala berupa Padmasana, Candi, Anglurah Agung, dua buah Bale Pepelik, Bale Pesamuan Agung, Pengayengan Dalem Peed, Bale Paselang, Pawedan/Bale Gajah, Bale Reringgitan, Bale Panjang dan Panggunan. Demikian juga pelinggih Betari Melanting/Pasar Agung dipandang perlu dibangun sementara, untuk “nedungan Ida “ selama pelaksanaan upacara ngenteg linggih. Di Madya dan Kanista Mandala didirikan berbagai bangunan semi permanen untuk mengdukung yadnya maupun operasional pura selanjutnya.

Paruman Sulinggih
Hari minggu, 11 Juni 2005 disebelah kiri belakang padmasana, dilaksanakan paruman oleh beberapa sulinggih. Beliau adalah para sulinggih yang tinggal menetap di Bali, Bandung, Bogor, Lampung, Tangerang dan Jakarta termasuk dharma adhyaksa PHDI Pusat. Paruman Sulinggih ini menghasilkan empat butir bhisama.

Arca Ganesha di Madya Mandala Pura Gunung Salak
Pertama, pura yang telah dibangun disepakati dengan nama “Parahyangan Agung Jagat Karta”. Ini diambil dari philosofi penciptaan alam semesta, dimana ketika Ida Sanghyang Widhi Wasa menciptakan alam semesta serta menurunkan ajaran Sanghyang Catur Weda, bergelar Sanghyang Jagat Kartta, (lontar Widhi Sastra Catur Yugo-Griya Aan Klungkung), Jawa Barat semasa pemerintahan raja-raja Siliwangi khususnya (tabe pakulun) Prabhu Sri Baduga Maharaja; agama Veda (Hindu) adalah agama kerajaan artinya raja dan rakyat Jawa Barat memeluk agama Hindu, Jawa Barat adalah tempat pertama masuknmya ajaran Veda/agama Hindu di Pulau Jawa.

Dari Jawa Barat kemudian menyebar ke Jawa Tengah, dan Jawa Timur, selanjutnya terus ke Bali. Untuk Jawa Timur juga ada penyebaran Ajaran Veda/Agama Hindu langsung dari India yang terjadi pada kurun waktu berikutnya. Dikaitkan dengan hal tersebutlah maka pura yang berlokasi di lereng Gunung Salak, dimana didalamnya juga terdapat candi sebagai stana Dewa Hyang Prabhu Siliwangi Shri Baduga Maharaja ini diberi nama “Parahyangan Agung Jagat Kartta”. Wilayah tempat berdirinya pura ini juga dikenal sebagai desa dan sekaligus kecamatan Tamansari di lereng Gunung Salak. Kemudian kata “Tamansari gunung Salak “menjadi kesatuan utuh tak terpisahkan, melekat dengan nama pura, sehingga secara lengkap disebut sebagai “PARAHYANGAN AGUNG JAGAT KARTTA TAMANSARI GUNUNG SALAK”.
Parahyangan berarti tempat Sanghyang Widhi;
Agung berarti besar, mulia;
Jagat berarti bumi;
Kartta berarti lahir, muncul.
Taman sari adalah nama Kecamatan dilereng Gunung Salak, dimana pura ini berada.
Keseluruhan nama tersebut mengandung makna : “pura ini adalah tempat yang indah dan mulia sebagai stana Tuhan Yang Maha Agung, yang berlokasi di Kecamatan Taman sari Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat.

Ngenteg Linggih dan Piodalan/Pujawali Pura
Madya Mandala di Pura Gunung Salak
Ditetapkan pujawali pura dilaksanakan pada Purnama sasih ketiga dengan pertimbangan bahwa piodalan pura-pura di wilayah sekitar BANSEJABODETABEK (Bandung, Serang, Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi) umumnya berlangsung pada Purnama Sasih Kapat dan Kelima. Dengan pilihan waktu tersebut, diharapkan umat sekitar dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk berpartisipasi di pura. Dengan memperhatikan kesiapan pembangunan phisik, disepakati untuk melaksanakan upacara Ngenteg Linggih pada hari Radite Pon Julungwangi tanggal 18 September 2005. Melihat besarnya bangunan phisik pura maka tingkatan upacara yang digunakan adalah “utamaning utama” yanitu tingkat tertinggi dalam struktur upacara yadnya agama Hindu. Melihat kenyataan bahwa umat yang bersembahyang dan ngayah datang dari berbagai penjuru tanah air maka pura ini diberlakukan sebagai Pura Kahyangan Jagat.
 Setelah kurang lebih 10 tahun melaksanakan pembangunan secara bertahap akhirnya Pura Gunung Salak diresmikan berfungsinya dengan upacara Ngenteg Linggih, dimulai dari Purnama Karo, Sukra Pon Kulantir, 19 Agustus 2005 dan berakhir pada Whraspati Wage, Sungsang, 29 September 2005, sedangkan puncak upacaranya, yakni Ngenteg Linggih pada Purnamaning Ketiga, Radite pon julungwangi bertepatan dengan hari Minggu tanggal 18 September 2005. Seluruh rangkaian upacara dipuput oleh para Sulinggih, baik yang didatangkan (dituwur) dari Bali maupun yang sudah lama menetap di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bandung. Setidaknya tercatat 21 Sulinggih yang terlibat dalam rangkaian upacara ini dibantu puluhan pinandita dari Bansejabodetabek yang tergabung dalam Sanggraha Pinandita Nusantara.bertindak selaku manggala upacara Ngenteg Linggih adalah Ida Pedanda Gde Putra Tembau dair Griya Aan, Klungkung, Bali, yang juga berkenan bertanggung jawab sebagai Manggala Pura.






Share this post :

Post Comment

+ komentar + 1 komentar

October 22, 2016 at 4:13 AM

behind it all they actually did oprasi plastic, because it was easy to distinguish the
bandar togel online terpercaya di indonesia

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1