Headlines News :
Home » , » Akulturasi Budaya China Dengan Bali di Pulau Dewata

Akulturasi Budaya China Dengan Bali di Pulau Dewata

Written By Unknown on Sunday, February 16, 2014 | 8:55 AM

Akultutrasi Bali dengan China (web.budaya-tionghoa.net)
Seiring tiap Tahun Baru Imlek datang, perbincangan tentang pengaruh kebudayaan Cina dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, kerap kali mengemuka. Kultur Negeri Tiongkok itu memang begitu luas dan liat mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Terlebih lagi di Bali, sentuhan tradisi Cina begitu terasa dalam tradisi masyarakat Bali.

Budaya dari Negeri Tirai Bambu ini mendapat tempat yang tidak kalah istimewanya karena tidak semata hadir sebagai produk akulturasi budaya dalam fungsi horizontal atau nikmatan seni sesama manusia semata. Namun, juga bisa turut tampil secara wajar dalam fungsi vertikal pada dimensi spiritual manusia Bali.

Tradisi kesenian serta tinggalan-tinggalan arkeologis Bali amat jelas memberi gambaran mengenai hal ini. Dalam wilayah seni khususnya tari, beberapa contoh yang bisa disebutkan, tari Baris Cina yang masih terpelihara kuat di Renon, Semawang dan daerah-daerah lainnya, tari Barong Landung yang menurut para peneliti merupakan tinggalan tertua karena diperkuat dengan prasasti Balingkang pada awal tahun Masehi tentang pernikahan Raja Jayapangus dan putri Cina Fang Seng Hui serta tari Barong sendiri yang dimiliki sebagian besar desa-desa adat di Bali. Bahkan, menurut mantan Rektor ISI Denpasar, I Wayan Rai, gong barungan yang kini diwarisi di Bali cikal bakalnya ternyata dari Cina yakni berupa gong Beri.

Di wilayah seni sastra, orang Bali sudah mengenal betul cerita Sampik Ing Tai. Cerita yang sangat jelas berasal dari Cina ini terutama sangat terkenal di daerah Buleleng. Kisah cinta I Sampik dan Ing Tai ini sudah diekploitasi ke dalam berbagai bentuk kesenian Bali mulai dari pupuh (tembang puisi tradisional Bali), cerita drama tari arja atau drama gong hingga tema lagu pop Bali yang sekarang sedang semarak.

Tak ketinggalan seni arsitektur Bali juga mengadopsi unsur-unsur Cina dengan munculnya patra (model ukiran) Cina. Model ukiran ini bahkan cukup favorit di kalangan para undagi (arsitek tradisional) Bali selain patra Belanda. Tinggalan material yang paling dikenal tentu pis bolong atau uang kepeng. Pada masa kerajaan dulu, inilah mata uang kartal orang Bali. Bahkan, sejarah mencatat saat itu Bali mengimpor uang kepeng langsung dari Cina. Ketika pis bolong tak lagi diakui sebagai uang kartal oleh pemerintah Republik Indonesia dan ditetapkan uang kartal baru, peran uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali justru belum bergeser. Yang terjadi, malah pergeseran ke arah fungsi spiritual sebagai sarana upacara termasuk untuk pretima (patung dewa yang dibuat dari uang kepeng).

Secara nyata, memang tak sedikit orang Cina yang tinggal di Bali dan itu terjadi sejak berabad-abad lalu. Jejak ini masih bisa dilacak melalui perkampungan-perkampungan Cina di sejumlah daerah di Bali seperti Kintamani, Pupuan, Payangan, Sukawati serta di sejumlah tempat di Denpasar. Bahkan di Denpasar sendiri pernah berdiri sekolah khusus Cina  yang akhirnya diubah menjadi sekolah umum karena dilarang pemerintah. Orang Bali pun menunjukkan sikap toleran yang unik kepada orang-orang Cina ini. Di sejumlah tempat, orang-orang Bali masih menyebut perayaan Imlek sebagai Galungan Cina seperti halnya Idul Fitri yang disebut sebagai Galungan Selam (Islam).

Penguatan ke arah fungsi spiritual bahkan dialami hampir seluruh unsur-unsur budaya Cina yang masuk ke Bali. Barong atau pun Barong Landung jelas-jelas di-sungsung oleh orang Bali di pura-pura yang dikenal dengan sebutan pelawatan atau petapakan. Tiap hari baik tertentu, pelawatan atau petapakan itu diberikan upacara khusus dan umat Hindu Bali melakukan sembahyang bersama. Biasanya, saat upacara itu, sekalian juga pelawatan dan petapakan itu dipagelarkan dalam suatu pementasan khusus yang dikenal dengan sebutan mesolah. Karenanya, umat penyungsung pelawatan itu mau tidak mau mesti terus memelihara tradisi untuk belajar menarikan pelawatan tersebut.

Penghormatan Bali kepada Cina juga ditunjukkan jelas dengan membuatkan pelinggih khusus Cina. Budayawan Drs. I Wayan Geria menyebutkan, pelinggih Ratu Syahbandar yang terdapat di Pura Ulun Danu Batur dan Besakih merupakan bentuk penghormatan secara spiritual orang Bali kepada orang Cina yang dianggap berjasa daam perkembangan Bali tempo dulu.

Dalam pandangan Geria, apa yang terjadi ini merupakan wujud komunikasi budaya yang melahirkan suatu produk budaya yang baru. Semua ini bisa terjadi karena interaksi yang cukup intensif antara orang Bali dengan orang-orang Cina pada zaman dulu terutama yang diakibatkan oleh terlibatnya Bali dalam perdagangan Nusantara di mana orang-orang Cina merupakan salah satu pelaku yang sangat menonjol.
 
balisaja.com
Menariknya, produk budaya baru yang lahir di Bali itu tidak lagi tampak sebagai atau berasal dari Cina. Orang Bali sendiri bahkan merasakan hal itu sebagai budayanya sendiri, bukan budaya dari Cina. Menurut Geria, itu lebih karena sifat orang Bali yang kreatif dan terbuka. Bali melihat Cina sebagai inspirasi peradaban. Inspirasi itu diolah sedemikian rupa disesuaikan dengan unsur dan tradisi Bali sehingga lahirlah sebuah produk budaya yang benar-benar berbeda. Cina seolah-olah luruh dalam balutan tradisi Bali.

Hal ini sebagai kekuatan local genius Bali yang sejatinya juga dimiliki kebudayan di daerah lain. Konsep local genius menekankan kepada penerimaan budaya luar secara selektif. Yang diambil sebanyak-banyaknya unsur positifnya, sedangkan unsur negatifnya ditekan.

Namun kini, ketika dunia termasuk Bali berada dalam pusaran peradaban global, kearifan lokal Bali seolah-olah kehilangan kekuatannya. Penerimaan mentah-mentah kebudayaan luar sudah menjadi kesadaran yang terus menghantui orang Bali kini. Dalam pandangan Geria, kondisi saat ini memang tidak memungkinkan terjadinya akulturasi. Menurut Geria, konsep kesederajatan telah makin menguat dalam tiap-tiap kebudayaan.


‘’Selain tentu, Bali kini sudah tidak seperti dulu lagi. Bali kini sudah sangat padat, begitu sesak yang berimplikasi pada terpinggirkannya orang Bali. Hubungan akulturatif seperti dulu tidak tercipta lagi,’’ kata antropolog dari Fakultas Sastra Universitas Udayana ini.

Sumber Klik Disini
Share this post :

Post Comment

+ komentar + 1 komentar

February 15, 2018 at 6:50 AM


agen judi terpercaya dengan peluang kemenangan lebih besar, segera daftar dan dapatkan royal jackpot
dan uang jutaan rupiah dengan minimal deposit 10.000, semua hanya ada di D3W4PK segera daftar ya :* :* :*

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1