Headlines News :
Home » » Missionaris Tembus Benteng Terakhir Orang Bali

Missionaris Tembus Benteng Terakhir Orang Bali

Written By Unknown on Sunday, December 29, 2013 | 10:30 AM


Om Swastyastu


Seorang ibu, yang bekerja di suatu instansi pemerintah di Mataram Lombok mengirimkan tulisan ke Media Hindu dengan judul “MISSIONARIS TEMBUS BENTENG TERAKHIR ORANG BALI”.

Tulisan itu terinspirasi oleh tayangan di sebuah stasiun televisi tentang perayaan Paskah di Bali. Dalam tayangan itu ada wawancara dengan orang Bali Kristen yang menyatakan dirinya merasa lebih sreg ke gereja dengan pakaian adat Bali. Memang tampak bahwa hampir semua yang ke gereja memakai pakaian adat Bali (mungkin semuanya orang Bali), yang wanita lengkap dengan sanggul dan yang laki-laki baik anak-anak maupun laki-laki dewasa lengkap dengan destar (udeng) tampak persis ketika umat Hindu Bali sembahyang ke Pure.


Yang menarik juga dari tayangan tersebut adalah para biarawati yang lengkap dengan pakaian khas mereka memberikan dan memercikan air kepada para jemaatnya yang secara satu persatu berbaris mendekati para biarawati ibaratnya para pemangku memercikan Amertha. Dan yang paling menarik dari tayangan tersebut adalah selain merayakan paskah di gereja para orang Bali Kristen tersebut di rumah masing-masing melakukan persembahyangan penghormatan kepada para leluhur dengan sarana banten gebogan dan sesajen namun dilengkapi dengan patung bunda Maria dan Yesus. Cara sembahyangnyapun ada yang mencakupkan tangan di dahi ada yang di dada.
Dengan menyaksikan tayangan tersebut orang Bali telah kecolongan jauh oleh para missionaris, kenapa demikian? Salah satu bentuk keyakinan orang Bali yang merupakan salah satu benteng terakhir yang kokoh memproteksi orang Bali sehingga tetap teguh mempertahankan Hindu adalah melakukan penghormatan terhadap leluhur selain pemujaan terhadap Tuhan. Kenapa itu bisa dijadikan benteng kuat? Karena orang Bali paling takut ‘ditilas’ ataupun melupakan kawitan (leluhur) sehingga banyak dari mereka yang beralih agama terus dihantui rasa bersalah terhadap leluhurnya dan data di lapangan juga menunjukkan bahwa para orang Bali yang telah terkonversi kemudian balik lagi kepelukan Hindu karena alasan Leluhur mereka.

Nah sekarang ranah itu telah dijamah oleh para missionaris, karena para missionaris juga mentolelir orang-orang Bali yang telah terkonversi tersebut melakukan rituil penghormatan terhadap leluhur bahkan dengan tatacara ritual Hindu yang sedikit dimodifikasi. Dengan demikian alasan lupa pada kawitan tidak ada lagi sehingga kecil kemungkinan mereka balik ke pangakuan Hindu toh mereka meskipun beragama kristen tetap ingat dan memuja leluhur mereka..

Ibu ini kemudian meminta Tokoh-tokoh Umat di Bali cepatlah tanggap terhadap lingkungan Tetapi sampai sekarang tidak ada tanggapan apa-apa dari lembaga-lembaga Hindu di Bali. Beda dengan kasus VCD yang dibuat di Batu Malang, yang dibuat oleh Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia. VCD yang berdurasi 1 jam itu merekam orang-orang berpakaian Muslim pakia sorban tetapi melakukan doa Kristen. Diprotes oleh MUI Probolinggo, dilaporkan ke polres. Karena dianggap bisa menimbulkan permasalahan agama. (detik.com 10 4 2007). VCD ini belum beredar keluar. Berbeda dengan ritual Kristen-Hindu-Bali yang ditayangkan secara luas di media elektronik.

Sewaktu Panitia Nyepi dan Dharma Santi 2006 menghadap Menteri Agama, beliau juga manyinggung hal-hal seperti ini. Khusus tentang tingkah polah gereja Kristen di Bali, Menag meminta agar umat Hindu memprotes siaran drama seperti Sang Hyang Yesus yang pernah ditayangkan TVRI Bali. Karena hal-hal semacam ini berpotensi mengundang konflik. Andaikata ritual seperti yang disebutkan oleh penulis di atas dilakukan di Papua, unatuk orang-orang Krsten Papua, tentu tidak perlu dipermasalahkan. Tapi karena ini dilakukan di Bali, di tengah-tengah laingkungan yang mayoritas beragama Hindu oleh agama missi yang agresif, tentu ada motifnya.

Menghadapi hal semacam ini, organisasi Hindu, terutama PHDI Pusat dan Bali, seperti “kemegmegan” (gagap). Tidak memiliki sikap yang jelas. Apakah karena karena tidak mampu memberi argumentasi.
Atau apakah orang Hindu di Bali dan PHDI mengikuti toleransi “indefferentisme” (emang gue pikirin) atau menganut aliran kesamenisme, yang berpendapat “He who is called Sang Hyang Widhi also called Sang Hyang Yesus?’ ‘She who colled Ibu Pertiwi also called Bunda Maria?”

Kalau PHDI ‘kemegmegan’, mestinya Sabha Walaka (sebagai think tank) memberi masukan. Bukan soal diprotes atau tidak, yang penting ada sikap yang jelas.
Om santih, santih, santih Om

Ref: Media Hindu
Share this post :

Post Comment

+ komentar + 1 komentar

December 31, 2013 at 7:20 PM

Semoga saja bali dan Hindu tetap Ajeg .... Svaha

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1